Kebahagiaan itu Ada Di mana?
Dalam kehidupan manusia, kebahagiaan lekat dengan hasrat. Hasrat muncul karena adanya dambaan atas kebahagiaan yang belum tercapai; hasrat terjadi saat manusia masih memiliki jarak dengan objek pemuasnya; konsep tatanan simbolik di mana adanya jarak antara diri dengan objek yang hendak dicapai berkaitan erat dari hasrat dari diri untuk meraih objek yang didambakan.
Lalu, apakah yang terjadi saat objek yang didambakan telah diraih? Kebahagiaan tentu saja akan muncul tetapi hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Hasrat yang memudar setelah objek dambaan teraih akan berjalan beriringan dengan rasa kebas terhadap “kenyamanan” yang tercipta. Dengan kata lain, sensasi “bahagia” yang sebelumnya menjadi sangat indah saat dibayangkan akan digantikan dengan kebosanan.
Pada akhirnya, kondisi manusia akan kembali berada di titik awal–sebelum hasrat untuk mencapai objek idaman muncul–yang hampa. Kehampaan tersebut dapat diselesaikan–untuk sementara–dengan mencari objek dambaan baru. Siklus yang sia – sia akan terus berulang dan menimbukan pertanyaan: di manakah letak kebahagiaan itu?
Penjabaran yang serupa pernah penulis jabarkan pada tulisan di kolom artikel yang sama dengan judul “Pencarian Makna dalam Pusaran Kehampaan”. Pada tulisan tersebut, disebutkan bahwa kehampaan akan terjadi saat objek dambaan telah didapatkan. Rasanya sama saja seperti sebelum memiliki hasrat untuk mendapatkan objek tersebut. Rasa yang berbeda–dan bercirikan kebahagiaan–adalah pada hasrat dan proses dalam pencapaian tersebut. Dalam konteks ini, kebahagiaan dalam kehidupan manusia di dunia terkesan semu dan tidak absolut.
Baca Juga:
Terlepas dari pernyataan filosofis mengenai kebahagian yang semu, neurosains juga memiliki pandangan yang sejalan. Kebahagiaan–dalam konteks neurosains–disinyalir berkaitan dengan sistem kerja jaras impulsif dan kompulsif. Jaras impulsif–yang terdiri dari striatum ventral, anterior cingulated cortex, ventromedial prefrontal cortex, dan talamus–memiliki tanggung jawab dalam mengkondisikan kebahagiaan, euforia, dan rasa senang saat dopamin di jaras tersebut meningkat. Sedangkan, jaras kompulsif–yang terdiri dari striatum dorsal, orbitofrontal cortex, dan talamus–bertanggung jawab dalam menimbulkan kecanduan akan kebahagiaan, euforia dan rasa senang saat aktivasi dari jaras impulsif telah berlangsung kronis: jaras kompulsif akan terus meminta jumlah dopamin yang lebih besar dari sebelumnya karena adanya resistensi terhadap dosis dopamin terdahulu.
Jumlah dopamin, dalam hal ini tidak hanya dapat dimunculkan oleh stimulus eksternal berupa tantangan akan pencapaian objek kebahagian tetapi juga dapat ditimbulkan dengan menambahkan jumlah dopamin dengan menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pencarian kebahagiaan–jika dilihat dari sudut pandang tersebut–jelas tidak akan menemui titik akhir dan tidak memiliki titik absolut. Beranjak dari konsep tiada titik akhir dari pencarian kebahagiaan, sikap menjaga jarak terhadap objek kebahagiaan adalah salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mencari “kebahagiaan yang sempurna”.
Konteks ini telah banyak disodorkan oleh berbagai macam ajaran, salah satunya ajaran Buddha dan filosofi serupa yang ada pada beberapa kebudayaan timur.
Menjaga jarak dan bebas dari objek kelekatan–salah satunya kebahagiaan–dapat dilakukan dengan “hidup secukupnya” dan berbahagia dengan apa yang ada di saat ini. Tidak ada kehidupan di masa depan–dan masa lalu. Yang ada hanyalah kehidupan di detik ini yang sempuran tanpa terikat sama sekali dengan masa depan yang semu dan masa lalu yang sudah ditinggalkan.