Rumah Sebagai Tempat Kembali

foto gemabali 900 600
foto gemabali 900 600

Psikis manusia pertama kali terbentuk dari lingkungan terkecil yang dikenal saat lahir di dunia. Dalam teori psikodinamika, lingkungan pertama tersebut adalah rumah di mana terdapat figur ibu sebagai tempat bayi mendapatkan kenyamanan–sering diidentikan dengan mulut yang menempel pada puting susu. Oleh karena itu, fase psikodinamika tingkat awal ini disebut dengan fase oral–jika menggunakan teori psikoseksual Freud–atau trust and misstrust–jika menggunakan teori psikososial Erikson.

Setelah itu, lingkungan tersebut melebar dan mencangkup figur keluarga kecil di rumah–ayah dan keluarga di rumah–lalu membesar lagi menjadi lingkungan sepermainan di luar rumah, lingkungan sosial di sekolah dan teman seumuran, kemudian ke lingkungan masyarakat dan sosial yang lebih luas di tempat manusia berada.

Pertemuan antara manusia dengan lingkungannya tidak selalu berjalan harmonis. Tabrakan antara kepentingan manusia dan lingkungan yang membuat tekanan psikis sering kali terjadi dan bahkan menyebabkan gangguan mental yang mengganggu keseharian. Tabrakan tersebut bisa saja terjadi di lingkungan terkecil–rumah–atau bahkan di tingkat yang lebih lanjut.

Pada beberapa kasus, manusia akan mundur dan mencari tempat aman di tingkat lingkungan yang lebih kecil saat terjadi masalah yang tidak terselesaikan di tingkat lingkungan yang lebih luas. Misalkan, saat manusia dewasa yang belum matang mendapatkan sanksi karena melanggar hukum, ia akan merengek untuk diberikan keringanan hukuman–yang memiliki pola yang sama seperti masa kecil di rumah.

Atau, kasus yang lebih sering terjadi tetapi tidak kasat mata adalah rasa aman dan nyaman yang didapatkan di rumah saat seseorang pulang kampung. Kenyamanan itu tentu saja sangat berbeda dengan keharusan untuk berjaga – jaga yang dilakukan manusia di perantauan.

Masalah akan muncul di saat rasa aman dan nyaman tidak terbentuk di fase awal relasi manusia dengan lingkungan terkecilnya–rumah. Rasa aman yang kurang didapatkan pada fase tersebut akan membuat manusia cenderung memiliki persepsi negatif terhadap realita. Kondisi itu tentu saja akan memengaruhi hubungan manusia dengan lingkungan yang lebih besar. Saat hal tersebut terjadi, apakah yang bisa dilakukan?

Banyak pilihan sudut pandang yang dapat ditempuh, salah satunya dengan menilik kembali peran lingkungan terkecil di masa lalu kemudian berdamai dengan hal tersebut. Proses berdamai–salah satunya–dapat dimulai dengan berani melihat masa lalu sebagai sejarah hidup yang perlu dipelajari. Segala hal yang telah terjadi di masa lalu tidak hanya memberikan dampak negatif secara absolut. Pasti akan ada dampak positif yang tidak disadari.

Contoh ekstrem dari pernyataan tersebut adalah: keinginan untuk belajar mengenai masa lalu dan berbenah untuk masa depan hanya akan terpikir saat ada masalah di masa lalu; manusia yang memiliki masa lalu kelam dan menyelami dirinya sendiri untuk berbenah biasanya akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari manusia kebanyakan yang tidak pernah memiliki masalah di masa lalu.

Dengan penggambaran yang serupa, anak panah dapat melesat dan mengenai titik sasaran di depan hanya jika ia ditarik mundur: ditarik mundur ke belakang dengan postur memanah yang baik–dengan kesadaran yang penuh kebijaksanaan–dan tetap fokus pada titik sasaran di depan. Dalam hal ini, tarikan busur ke belakang adalah metafora dari kembali ke “rumah” untuk menyelesaikan semua problematika.