Berpasangan adalah Bercermin

foto gemabali 900 600
foto gemabali 900 600

Dalam teori psikososial yang dicetuskan oleh Erikson, umur signifikan dalam berpasangan terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun–sering disebut tahapan intimacy vs isolation. Setelah jati diri pada tahapan sebelumnya sudah terbentuk dengan optimal, manusia di tahapan intimacy vs isolation akan belajar memberanikan diri untuk membenturkan kepentingan diri sendiri dengan kepentingan pasangannya.

Saat tahap ini berjalan dengan lancar, maka hasil terbaik–intimacy­–yang berwujud hubungan intim dan saling melengkapi akan dapat terjadi.Sebaliknya, jika tidak berjalan dengan optimal, kondisi isolation–yang tercermin dari kesendirian dan menjauh dari hubungan intim–bisa saja terjadi.

Walaupun kondisi tersebut merupakan teori–dengan segala pro dan kontranya–dan tidak absolut terjadi pada semua individu, teori perkembangan psikososial tetap saja dapat dipakai sebagai salah satu cara pandang dalam melihat hubungan berpasangan antar manusia.

Manusia di masa kini adalah kumpulan dari semua pengalaman hidup sejak manusia dilahirkan hingga kehidupan pada detik ini. Tumbuh kembang di masa kecil–beserta semua masalah yang melekat pada pertumbuhan tersebut–akan memengaruhi persepsi manusia terhadap realita di masa kini, salah satunya cara pandang manusia dalam berpasangan.

Misalkan saja, ada seorang wanita berusia 25 tahun yang sangat membenci ayahnya karena sering selingkuh saat wanita tersebut masih kecil. Jika dilihat sepintas, wanita berusia 25 tahun tersebut tentu saja tidak akan melakukan kesalahan yang sama dan akan menghindari laki-laki yang suka selingkuh untuk dijadikan pasangan.

Tetapi, hal yang bertolak belakang ternyata terjadi pada beberapa kasus: wanita yang berada pada posisi tersebut malah menyukai laki-laki yang jauh lebih tua dan sudah berkeluarga. Pada kondisi ini, terjadi kelekatan antara wanita tersebut pada figur ayah di masa kecil, baik dari sisi positif maupun negatif yang dimiliki oleh sang ayah. Figur ayah yang sering selingkuh – yang merupakan sisi negatif – ternyata juga didambakan secara tidak sadar oleh wanita tersebut.

Selain contoh ekstrem di atas, sebenarnya terdapat beberapa hal yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari dan tidak disadari. Misalkan, seorang istri yang cemburu kepada suaminya saat suami tersebut pulang larut malam. Kecemburuan tersebut menjadi “wajar” terjadi karena pihak istri memiliki trauma atas ayah yang sering selingkuh dan berujung pada perceraian kedua orang tuanya saat ia masih kecil.

Pada kondisi ini, sebenarnya figur suami yang hadir di masa kini berperan sebagai cermin yang memperlihatkan sisi kelam dari pihak istri. Sisi kelam yang dipantulkan oleh cermin tersebut tidak selalu berujung pada hal negatif–seperti pertikaian rumah tangga karena istri terlalu mudah cemburu–tetapi juga dapat menjadi awal dari perjalanan dalam menyembuhkan trauma di masa lalu.

Awal perjalanan tersebut baru dapat terjadi jika ada kesadaran pada kedua belah pihak akan kelamnya masa lalu yang menyebabkan pergeseran cara pandang salah satu pihak–atau bahkan kedua belah pihak–dalam melihat realita di masa kini.

Setelah kesadaran tersebut terjadi, maka hal yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak adalah saling membantu untuk berjalan bersama-sama dalam menyelesaikan masalah dan trauma di masa lalu. Berjalan harus dilakukan secara bersama-sama, ibarat sepasang sepatu tidak akan dapat dipakai berjalan jika hanya satu sisi saja yang mengambil peran.