Cinta Kasih Sebagai Alasan Memaafkan
Hubungan antar manusia sering kali dihiasi dengan tabrakan antara kepentingan individu yang saling berlawanan. Hal tersebut tentu saja akan membuat salah satu (atau semua) pihak mengalami ketidaknyamanan. Kondisi yang tidak nyaman pada akhirnya akan membuat emosi negatif–bahkan dendam.
Saat emosi negatif bertahan lama dan tidak kunjung hilang, batin manusia semakin lama akan terperosok ke dalam jurang kesengsaraan. Kondisi batin yang sudah terjerumus ke dalam jurang kesengsaraan–dalam hal ini–sering kali tidak disadari; yang tampak di permukaan hanyalah gejala mental seperti kecemasan, sedih atau marah berujung depresi, bahkan gejala-gejala mental yang parah seperti gangguan psikotik dan skizofrenia.
Hal yang paling sering disarankan untuk mengatasi hal ini tentu saja adalah memaafkan: memaafkan sepenuhnya sampai semua batin benar-benar bersih dari dendam. Lalu, bagaimana cara praktis yang dapat ditempuh agar kondisi “memaafkan” benar-benar dapat tercapai?
Akan ada banyak sudut pandang yang dapat dipakai untuk menjabarkan cara memaafkan dengan sepenuhnya. Salah satu cara tersebut adalah mencoba melihat dari sisi berlawanan: sisi orang yang “melukai”. Sisi pandang ini dapat diawali dengan premis awal di mana sejatinya semua orang itu dilahirkan dengan sifat yang baik dan tidak ada yang berniat negatif kepada siapapun.
Sudut pandang bahwa sejatinya manusia memiliki sifat dasar yang baik sebenarnya telah banyak dikemukaan, salah satunya oleh Rutger Bregman dalam bukunya yang berjudul “Human Kind”. Dalam tulisannya, Bregman mengemukakan kesimpulan dari berbagai riset yang menjadi dasar argumentasi dalam buku tersebut: pada dasarnya, homo sapiens dapat bertahan hingga saat ini karena sifat baik yang dimiliki.
Sifat baik tersebut membuat homo sapiens dapat bekerja sama dan mempertahankan spesiesnya hingga saat ini. Bekerja sama, dalam hal ini bermakna mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
Beberapa kasus yang menunjukan sifat negatif manusia yang menyinggung manusia lainnya disinyalir adalah keterpaksaan untuk mempertahankan diri sendiri ditengah tabrakan antar kepentingan di antara sesamanya.
Hal lain yang menguatkan hal ini adalah tindakan negatif dari manusia sejatinya membuat perasaannya tidak nyaman bagi manusia itu sendiri: rasa kasihan tergantikan dengan keterpaksaan dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan.
Contoh kasus dari hal ini pernah penulis jabarkan dalam artikel yang berjudul “Psikodinamika dan Lingkaran Karma yang Harus Terhenti” di kolom ‘Lentera Jiwa’ Gema Bali, 3 Januari 2022. Pada tulisan tersebut dijabarkan bahwa perilaku buruk orang tua kepada anak sebenarnya adalah pola yang orang tua dapatkan saat ia kecil.
Seorang perempuan yang mendapatkan kekerasan dari ibunya, dalam alam nirsadar–tidak mutlak terjadi–akan melakukan hal yang sama kepada anaknya nanti. Perilaku kasar kepada anak tersebut sebenarnya tidak diinginkan tetapi tetap ia lakukan: dalam hal ini, ambivalensi terjadi.
Ambivalensi ini pada akhirnya akan membuat perempuan tersebut tersiksa. Contoh lain, seseorang dengan batin yang penuh amarah–dan akhirnya membakar batin orang lain dengan amarahnya–sejatinya sedang sangat tidak nyaman dengan dirinya sendiri.
Dengan memahami pondasi pembentuk sudut pandang yang sudah dijabarkan di atas, bisa jadi sikap memaafkan akan muncul. Dengan memandang manusia lain yang bertindak negatif sebagai pihak yang sebenarnya mengalami kesengsaraan, amarah serta respons negatif akan berubah menjadi sikap memaafkan dan kasih sayang. ***