Ubud yang Berubah

Sebuah undangan untuk mengisi acara diskusi di Ubud, Gianyar, Bali mampir di kotak masuk telepon genggam. Ini menjadi kesempatan pertama saya untuk berbagi di tanah kelahiran sendiri. Maka, dari Denpasar saya berangkat ‘pulang kampung’ ke tanah kelahiran.

Kampung halaman menyimpan banyak kenangan. Sebagian orang hanya mengingat hal-hal baik dari masa lalu. Mungkin memang demikianlah otak kita dirancang. Didesain untuk menyimpan kisah-kisah yang baik untuk kita ceritakan kembali. Hal-hal pahit mendapat porsi sedikit di dalam memori di kepala. Hal serupa terjadi saat membayangkan Ubud di masa lalu.

Meskipun tinggal di Denpasar, saya sesekali pulang kampung terutama saat ada upacara adat di kampung halaman. Saat-saat demikian biasanya diisi dengan obrolan santai. Topik yang paling umum adalah soal perubahan kampung halaman.

Ya, di mata orang luar, Ubud mungkin terlihat sebagai daerah yang ‘berhasil’ menjaga adat, budaya dan segala hal-hal baik yang diwarisi dari masa lampau. Hal semacam ini juga sering dibangga-banggakan juga oleh masyarakat lokal. Tetapi di wilayah akar rumput, perubahan tersebut terasa pesat kadang diiringi kegelisahan.

Kami masih ingat dahulu di belakang sebuah pura kecil tumbuh tanaman yang kami sebut Bleket. Buahnya sebesar apel kecil, berwarna kuning jika sudah matang. Tekstrur dagingnya seperti mentega. Getahnya lengket. Kadang sehabis makan buah tersebut, bibir terasa lengket.

Di sebelahnya ada pohon Badung. Ukuran buahnya hampir sama dengan bleket tetapi rasa dan teksturnya berbeda. Selain buahnya, kami suka menguyah pucuk-pucuknya berwarna hijau muda. Rasanya asem-asem segar sebelum ampasnya kami muntahkan. Hampir semua halaman belakang penduduk, teba, memiliki pohon buah-buahan.

Pada masa musim berbuah, sekitar bulan September hingga Desember, teba menjadi halaman bermain yang menyenangkan. Selain teba, sawah dan sungai juga merupakan ‘taman bermain’ sekaligus ladang protein hewani. Menangkap ikan, udang dan belut menjadi keseharian. Sore menjelang malam terdengar suara gamelan dari sekeha gong yang berlatih di balai banjar. Kami, anak-anak dan penduduk desa, adalah ‘penguasa’ daerah-daerah tersebut.

Tentu saja hal-hal semacam itu tidak bisa bertahan lama. Perubahan kota adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada tempat yang ajeg di dunia ini. Jikapun ada, alih-alih bangga, bisa jadi tempat semacam itu dicap sebagai wilayah tidak berkembang atau mungkin juga dilabeli tertinggal sehingga membuat penduduknya merasa inferior.

Perubahan yang terjadi pada sebuah wilayah tidak bisa dibandingkan antara wilayah satu dengan yang lain. Ada wilayah yang berubah karena faktor internal: penduduknya bertambah secara alami, tingkat pendidikan warganya yang meningkat atau keinginan untuk mengembangkan wilayah oleh penduduk sendiri.

Transformasi wilayah juga bisa terjadi akibat faktor eksternal seperti pembangunan jalan nasional yang melewati wilayah tersebut padahal ia tidak membutuhkan jalan tersebut. Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya perubahan pun bisa bermacam-macam.

Perubahan bisa saja merupakan bagian dari keinginan penguasa wilayah yang lebih tinggi untuk membangun daerah tersebut. Bisa jadi karena wilayah tersebut menrik minat investor nasional dan global yang lalu mendorong terjadinya perubahan di sebuah wilayah atau bisa saja ada event besar yang direncanakan untuk berlangsung di wilayah tersebut menuntut agar dilaksanakan sebuah perubahan.

Tetapi, di masa di mana wilayah-wilayah saling terhubung satu sama lain, perubahan sering terjadi akibat gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal.

Ubud menjadi wilayah yang terus mengalami perubahan. Dari sebuah desa kecil, Ubud kini menjadi lahan subur tumbuhnya karakter urban sebuah kota besar dengan penduduk yang heterogen dimana mereka tidak lagi bekerja di sektor pertanian.

Pembangunan sambung menyambung terjadi di wilayah dengan sawah yang kian menyempit ini. Di Ubud, kini jamak terlihat tower crane yang sibuk membangun gedung-gedung besar. Gedung-gedung lama dihancurkan digantikan yang baru. Gedung-gedung baru tersebut akan mengubah lansekap wilayah Ubud. Kadang muncul pertanyaan, siapa pemilik gedung-gedung tersebut?

“Orang Ubud takut berinvestasi, mereka tidak berani membuka usaha. Kebanyakan yang membangun di Ubud bukanlah penduduk asli”, demikian keluh seorang kawan. Entah benar atau tidak. Kawan itu memiliki usaha manajemen fasilitas wisata. Menurutnya, tingkat pengembalian modal di Ubud cukup baik dibandingkan dengan kawasan lain di Bali.

Angka tersebut konon juga lebih baik dibandingkan kawasan lain di Asia Pasifik. Ketidakberanian warga lokal berinvestasi ditambah dengan tingkat pengembalian modal yang singkat menjadi pintu lebar masuknya investasi besar.

Investasi-investasi besar yang terjadi di Ubud umumnya meng-’eksploitasi’ apa yang dahulu dibanggakan oleh penduduk: kehidupan agraris, kedamaian, kehijauan tebing-tebingnya. Cobalah ketik kata ‘Ubud’ di mesin pencari Google. Kita akan disajikan dengan imaji-imaji memanjakan mata.

Sawah hijau dengan terasering, kolam renang menyatu dengan hutan dan tebing di depannya, gemulai penari yang menarikan tarian tradisional. Gambar-gambar tersebut tentu saja tidak dipajang oleh penduduk melainkan investor. Gambar tersebut adalah alat pemasaran. Obyek yang mereka pasarkan adalah imaji-imaji Ubud yang terbangun ratusan tahun dan mulai dikenalkan ke dunia internasional sejak sekitar seratus tahun lalu.

Imaji-imaji Ubud yang laku dijual tersebut menjadi alat produksi yang efektif. Penginapan dalam berbagai kelas dan restoran, dua fasilitas yang paling mudah dijumpai di Ubud, mengeksploitasi imaji tersebut sebagai bagian dari upayanya menarik keuntungan. Hotel-hotel dan villa dibangun dengan arsitektur lokal. View sawah dan tebing menjadi rebutan.

Sajian tradisional menjadi menu utama restaurant tampil sejajar dengan menu-menu internasional. Suara gamelan berpadu dengan gemericik air dihadirkan melengkapi lansekap yang dibuat seolah alami.

Tari-tarian dipentaskan di beberapa balai banjar. Dari sinilah kesan bahwa Ubud mampu memperthankan adat dan budayanya muncul. Keunggulan ini diakui sendiri oleh investor. Mereka menyebutkan bahwa melestarikan budaya sangat penting, bukan hanya sebagai identitas, tetapi yang utama adalah sebagai komoditas.

Komoditas yang merupakan perwujudan dari imaji tentang Ubud tersebut membutuhkan lahan. Tidak sedikit, tetapi ia membutuhkan lahan yang terus bertambah setiap saat. Semakin komoditas tersebut mampu dipertahankan maka semakin singkat waktu pengembalian modal.

Semakin singkat waktu pengambalian modal yang berarti keuntungan semakin cepat didapat maka semakin menarik sebuah wilayah bagi investasi. Lahan tidak hanya berganti fungsi tetapi kini juga kepemilikan.

Konon, porsi kepemilikan lahan di Ubud oleh orang yang tidak tinggal di wilayah tersebut semakin besar. Teba-teba menghilang, sawah menyempit menjadi sekedar penyedia view dan pembentuk imaji. Tidak seperti masa kanak-kanak, kami bukan lagi ‘penguasa’ lahan-lahan.

Saya melaju pelan diantara kepadatan lalu-lintas. Di kiri kanan jalan, di tempat di mana dahulu berjejer angkul-angkul dan telajakan, dipenuhi deretan toko. Fasilitas komersial tersebut membentuk pola. Mulai dari daerah Mas dengan deretan wisata kuliner hingga Teges lalu berganti dengan toko telepon seluler serta pakaian jadi di Peliatan.

Money changer, toko kerajinan lokal, pedagang kartu pos dan pernak-pernik kecil untuk wisatawan terselip diantara toko-toko besar retail internasional: Polo, Pandora Box, Periplus dan lain lain yang memenuhi kawasan di sekitar Puri Ubud. Pola ini juga dibentuk oleh kapital. Hanya brand internasional dengan modal besar yang bisa masuk kawasan pusat kota. Begitulah, kapital menjadi pengatur banyak hal, melebihi kuasa penduduk dan pemerintah dalam menata ruang. ***