Di Kamanasa, Melihat ‘Terra Mater’

Awal Desember 2022 lalu saya berkunjung ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Kunjungan kali ini untuk melihat para mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan di Dusun Menelima, Desa Kamanasa, NTT. Ada banyak hal baru yang saya lihat mulai dari bandara hingga perkembangan Kota Kupang.

Perubahan ini diharapkan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat, di lain pihak juga bisa memberi dampak bagi eksistensi masyarakat adat yang sudah menghuni Pulau Timor sejak ratusan tahun lampau.

Bandara El Tari kini terlihat lebih mentereng. sekeluar dari pesawat dan lorong garbarata, kita menyaksikan sosok terminal dengan atap menjulang serupa rumah Sumba. Struktur baja menyangga elemen paling dominan dari bangunan terminal tersebut.

Di dalam, bagian interior dihiasai dengan beberapa gambar rumah-rumah dan pertunjukan tradisional khas masyarakat NTT. Sebuah ruangan bertuliskan ‘International Terminal’ nampak lengang, belum berfungsi. Rantai terpasang di depan lorongnya. Sejak beberapa tahun ini, kawasan Indonesia bagian timur terus berbenah.

Pariwisata nampaknya akan menjadi salah satu sumber pendapatan yang sedang dibidik. Bandara El Tari, dengan terminal internasionalnya, bersiap menyambut rencana tersebut. Selain itu, Gubernur NTT sedang giat membangun lahan pertanian guna meningkatkan produksi jagung.

Jauh dari Kota Kupang, 7-8 jam berkendara, saya menyaksikan rumah adat yang sedang menuju tahap akhir penyelesaian. Bangunan ini sedang dikerjakan oleh mahasiswa dan masyarakat setempat sejak  sekitar dua bulan lalu.

Berbagai ritual telah dilewati. Di awal pembangunan, upacara digelar saat memancangkan dua tiang utama bangunan. Ini dipercaya sebagai permohonan ampun karena sudah lancang membuat struktur di atas tanah dan sekaligus mendoakan agar tiang yang dipancang serta rumah yang dibangun nanti akan bisa berhubungan harmonis dengan tempatnya serta manusia penghuninya.

Upacara juga dilakukan saat mengumpulkan material yang akan dipakai dalam pembangunan. Pohon dan material alam lain termasuk daun nipah untuk atap dimohonkan kepada ibu bumi melalui ritual tertentu.

Untuk mengerjakan rumah, pertolongan kerabat dan tetangga dibutuhkan. Untuk menghadirkan orang dalam jumlah besar maka izin semesta juga dibutuhkan agar semua mau mengerjakan bangunan dengan ikhlas sehingga ritual juga diperlukan. Kehadiran masyarakat turut menjadi mekanisme kontrol atas penggunaan sumber daya alam yang dipakai dalam pembangunan. Ini membentuk demokrasi di masyarakat.

Giovanna Ricoveri mengobservasi bahwa pandangan yang melihat bumi dan segala isinya sebagai terra mater (ibu bumi) dimiliki oleh berbagai masyarakat tradisional yang menghuni berbagai belahan dunia yang berbeda-beda. Penghormatan terhadap bumi dilakukan dengan hanya mengambil secukupnya atas apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Proses pengambilan juga dilakukan dengan hati-hati, kadang diiringi rasa bersalah sehingga harus dilakukan dengan ritual permohonan ampun. Masyarakat menerima pemberian alam dengan penuh syukur dan menjaga sumber daya melalui gaya hidup yang berkelanjutan. Sumber daya yang ada di muka bumi tidak bisa dimiliki secara perorangan tetapi harus dimanfaatkan secara komunal karena merupakan kepemilikan bersama.

Kepemilikan bersama atau the commons mewujudkan hubungan sosial berdasarkan partisipasi demokratis. Anggota masyarakat saling bekerjasama dalam menjaga ketersediaannya karena memiliki ketergantungan yang setara atas sumber daya alam. Pengambilan dan pemanfaatan atas the commons memiliki prinsip jelas yang dihasilkan dari sistem pengambilan keputusan bersama.

Pada masyarakat tradisional di Bali, misalnya, keputusan soal sawah mana yang akan mendapat air sebanyak berapa, pada waktu kapan dan seberapa lama diatur oleh anggota satuan petani yang disebut subak. Air tidak boleh dimiliki atau dimonopoli. Dalam masyarakat tradisional lain, aturan-aturan tentang pohon mana yang bisa ditebang, untuk kegunaan apa, dan pada hari apa juga diatur.

Di Kamanasa, mahasiswa kami melaporkan bahwa ada ritual yang harus dilakukan sebelum masyarakat mengambil rotan dan juga daun nipah di hutan. Pengaturan-pengaturan ini adalah refleksi dari pandangan masyarakat atas apa yang dimaksud sebagai kepemilikan bersama sekaligus mencerminkan cara pandang terra mater.  

Hingga akhir abad ke-18, kontrol masyarakat atas milik bersama masih merupakan metode pemerintahan dan kepemilikan yang lumrah, bahkan di Eropa. Masyarakat berpandangan bahwa milik bersama sangat penting untuk masa depan bersama dan penciptaan demokrasi bumi di mana hak atas kelangsungan hidup semua spesies dan semua orang dilindungi.

Revolusi industri yang didukung oleh pandangan liberal dan dukungan kapitalisme, mengubah pandangan tentang kepemilikan Bersama. Kepemilikan Bersama tidak lagi relevan karena kapitalisme mendorong terbentuknya mekanisme pasar. Untuk memenuhi ambisi kapital yang dituntut untuk memproduksi sebanyak-banyaknya komoditas, hak-hak pribadi atas sumber daya alam mulai dikenal.

Mesin-mesin hasil temuan mutakhir membutuhkan sumber daya alam agar bisa terus melipatgandakan kapital. Penguasa-penguasa dari belahan utara lalu bergerak ke selatan, ke daerah-daerah Asia, Afrika, Amerika Latin hingga Australia. Mereka melakukan invasi. Tanah-tanah yang tadinya merupakan terra mater, milik bersama, dilihat sebagai lahan kosong yang bisa dibagi-bagi menjadi kepemilikan personal.

Tanah-tanah yang tadinya tanpa batas didemarkasi, dibagi-bagi diantara sesama bangsa kulit putih. Hutan-hutan berubah menjadi lahan-lahan pertanian yang menghasilkan jenis pohon tertentu.

Lahan pertanian monokultur tersebut dieksploitasi untuk memproduksi bahan baku bagi mesin-mesin industri yang menghasilkan produk yang laku di pasar internasional. Rakusnya kapital yang dituntut untuk terus menduplikasi diri membuat lahan harus terus dipaksa menghasilkan komoditas.

Meski kolonialisme telah berakhir, cara pandang kapitalistik dan liberal terus berjalan menggurita menguasai dunia. Liberalisme bahkan kini menjadi satu-satunya azas yang eksis pasca runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Sejak masa kolonial, tanah Timor telah dibagi dua. Bagian Timur dikuasai oleh bangsa Portugis sementara bangsa Belanda menguasai wilayah barat. Kini, setelah kolonialisme berakhir, Tanah Timor ‘terpisah’ secara administrasi menjadi Timor Leste dan bagian yang ada di bawah Republik Indonesia. Keluarga dan kelompok yang tadinya bebas bergerak di atas tanah kapur tersebut kini terpisah secara adminsitrasi.

Salah satu kepala suku yang saya jumpai bercerita, dahulu leluhurnya ada di satu kawasan di wilayah yang sekarang menjadi Timor Leste. Mereka pindah akibat upaya perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Portugis. Orang-orang tersebut masih bebas dengan leluasa bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain karena tidak ada demarkasi dan kepemilikan personal atas lahan.

Kapital kini sedang masuk ke pelosok-pelosok lahan melalui berbagai saluran. Pertanian lahan kering kini segera didominasi jagung. Pertanian menjadi monokultur melayani kebutuhan industri nasional bahkan mungkin juga internasional. Hal yang sedang direncanakan matang adalah industri pariwisata.

Ya, ini akan menjadi pintu masuk bagi kapitalisme dan juga mungkin liberalisme. Kedua hal ini bisa jadi akan mentransformasi dengan sangat cepat pandangan masyarakat lokal, merubah posisi bumi dari terra mater menjadi terra nullius (tanah kosong yang siap dibagi-bagi).

Nanti, suatu saat kita mungkin tidak lagi menyaksikan ritual yang merupakan perwujudan penghormatan masyarakat terhadap ibu bumi. Lahan yang semula merupakan kepemilikan bersama berubah menjadi komoditas yang berperan sebagai alat produksi. Sebagai alat produksi, ia harus berproduksi seperti mesin.

Jika pun masih ada, ritual tersebut mungkin akan dilihat sebagai adat kebiasaan yang dilabeli dengan kata-kata fancy: ‘local wisdom’. Atau, jika lebih parah, menjadi atraksi bagi wisatawan. Maknanya? menguap dan tergantikan oleh barang-barang yang bisa diproduksi massal di Tanah Timor. ***