"Proyek Mengeringkan Air" Ketut Putrayasa

I Ketut Putrayasa, bersama karya instalasinya, "Proyek Mengeringkan Air"
I Ketut Putrayasa, bersama karya instalasinya, "Proyek Mengeringkan Air"

I Wayan Westa

 

//Mempertanyakan  pasal 33.3 Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa,"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."//

 

Di depan teluk yang tenang, di pinggir Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, udara jam empat sore masih terasa menyengat. Dahulu pantai ini merupakan pelabuhan penting, tempat kapal-kapal hilir- mudik mengangkut kopra dan rempah dari Jawa ke Bali. Gudang peti kemas tua, luas dan memanjang masih berdiri kokoh. Ia menjadi saksi sejarah niaga Kota Banyuwangi yang panjang. 

Konon gudang tua ini pernah dipakai perusahaan Djakarta Iloyd dan Mexolie –dalam persiapan pengiriman barang ke pulau-pulau timur Jawa. Walau pelabuhan ini tak lagi aktif, sesekali masih ada kapal melintas, jukung-jukung penangkap ikan kerap menyandar. 

Memang sejak silam Banyuwangi telah menjadi kota niaga yang ramai, alih-alih setelah perang Banyu [1771-1772], wilayah ini sepenuhnya dikuasai VOC. Perang paling mengerikan itu, yang dipimpin Pangeran Jagatapti hanya menyisakan 5.000 penduduk dari 65.000 penduduk Blambangan saat itu. Sejak itu VOC menekuk Blambangan, memegang hak-hak monopoli di Banyuwangi. Pelabuhan-pelabuhan dibangun, gudang-gudang peti kemas untuk menyimpan ikan, rempah, kopra, beras juga didirikan.

Hari ini, gudang tua  yang menghadap Pantai Boom nan indah ini seperti hendak berkemas; entah ingin menautkan  generasinya pada masa lampau Banyuwangi –yang nama kotanya berasal-usul dari dua kata kawi, "banyu" dan "wangi". Banyu berarti air, wangi berarti harum.  

Setidaknya, data etimologis ini bisa kita lacak dari lontar Kidung Sri Tanjung--saat mana Sidapaksa, disulut rasa cemburu menghujamkan keris ke tubuh Sri Tanjung, lalu dari tubuh mulus itu mengucur darah berbau harum.

Kini, gudang tua ini disulap menjadi gedung pameran lukisan dan seni instalasi bertajuk "ArtOs Nusantara". Ada sejumlah seniman kenamaan Indonesia yang dikuratori seniman-akademisi Wayan Seriyogaparta, menggelar karya di gudang bersejarah tersebut. Di situ hadir Joko Pekik, Nyoman Erawan, Nasirun, Ketut Putrayasa, Putu Suta Wijaya, Hanafi, Nyoman Sani, Erica, MAIM, dan perupa lainnya. Pameran ini dibuka Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani pada Sabtu kemarin dan berlangsung selama sembilan hari hingga 28 Mei 2023.

Di antara para seniman kenamaan itu, Ketut Putrayasa boleh dibilang sebagai penampil paling aneh, kontras, membuat kita menekan kening. Seniman kelahiran Desa Canggu, Kuta Utara ini, tampil dengan seni instalasi bertajuk "Proyek Mengeringkan Air". Satu instalasi satire, cibiran menohok pada  hancur dan porandanya peradaban air Nusantara.

Pada pameran kali ini, seniman yang baru saja menggelar seni instalasi berjudul "Toilet Emas", bersamaan dengan Konferensi Tingkat  Tinggi G20 di Bali, di mana secara satire ia mencibir kritis,  bahwa pertemuan seperti itu adalah  agenda elit global, yang cuma berhenti  pada urusan makan dan (maaf) berak, tanpa konsistensi merawat bumi yang nyaris berpenduduk tujuh milyar ini kian poranda diterpa krisis multidimensi, yang terutama krisis akibat perubahan iklim dan kelangkaan air bersih.

Di gudang tua itu, Putrayasa tampil dengan gagasan pembelaan  yang kritis, bagaimana air  dirusak untuk kepentingan ekonomi semata, gugatan  menyengat sembari mempertanyakan realisasi  pasal 33.3  Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa di situ, secara tegas dinyatakan,"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Namun sampai di titik ini, negara cuma bisa hadir sebagai penguasa, jauh dari panggilan mempergunakan  sebesar-besarnya  untuk kemakmuran rakyat.

Lewat lima pilar beton,  dengan besi cor yang dibiarkan tak tuntas, ditempeli puluhan jemuran pakaian warna-warni,  kantong plastik penuh air  dengan gambar mata , simbol mata air yang telah  lama berubah menjadi air mata. Sementara satu pilar beton bertuliskan angka 33.3, mengingatkan kita pada pasal 33.3  Undang Undang Dasar 1945.  Satu  cibiran kritis, satire dingin perihal nasib bumi dan air serta kekayaan yang ada di dalamnya tidak sepenuhnya dipergunakan demi kemakmuran bersama.

Dengan beragam warna-warni jemuran, digantungi kantong-kantong plastik berisi air, mirip air kemasan yang mati karena tak lagi mengalir, sang seniman, Ketut Putrayasa seperti tengah menghadirkan apa yang disebut sebagai psychedelic art –kemampuan menterjemahkan apa yang ada di pikiran menjadi vision sang seniman. Mengwujudkan pola pikir, menerjemahkan gagasan-gagasan, merentangkan kelebatan-kelebatan jiwa hingga membentuk visual "warna-warni" dari jiwa dan pikiran itu—menjadi hardikan penuh simbolik, di mana seni sedang menggugat keadaan-keadaan krisis negeri.

Ini adalah seni yang menggugat, di situ betapa dalam hiruk-pikuk pasar, pembangunan yang masif atas nama kesejahteraan,  sumber-sumber alam bebas dikapitalisasi  sedemikian rupa tanpa  kepedulian merawat hari depan lingkungan. Alih fungsi hutan, perusakan lingkungan, industrialisasi  memicu pemcemaran, menyebabkan sumber-sumber hidup utama  air mengalami kerusakan, pencemaran,  dan kelangkaan.

Pembangunan tanpa mempertimbangan pelestarian lingkungan itulah bagi Ketut Putrayasa menjadi   "agenda  masif",  musabab  dari "Proyek Mengeringkan Air" yang kini  merebak, menimpa wilayah Nusantara sejak zaman Orde Baru, menggelinding deras dari kemaruk revolusi industri. Pun hingga kini masih berjalan masif atas nama pembangunan demi kesejahteraan. Atas nama perbaikan hidup dan pengentasan kemiskinan –plus atas nama kemajuan.

Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali, di Klungkung adalah contoh nyata, tentang bagaimana bukit-bukit rendah  nan hijau di Kecamatan Dawan, Klungkung diporanda, dikeruk, diambil tanahnya untuk kepentingan pengurugan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali yang  didirikan di bantaran Sungai Unda –sungai yang ketika Gunung Agung meletus pada tahun 1963 menjadi aliran lahar paling berbahaya.

Satu proyek prestisius bernilai triliunan, yang mengorbankan tanah-tanah sawah subur sebagai jalan. Sementara jutaan "sungai-sungai pohon" di kaki bukit di seantero Kecamatan Dawan harus tumbang menjadi tumbal proyek megah itu. Kita tak menyadari, bahwa semak dan pohon-pohon yang ditumbangkan itu adalah sebentuk "sungai hidup", tempai air hidup mengalir lewat serat-serat inti pohon.   

Dipastikan hal ini tidak cuma terjadi Kabupaten Klungkung atau Bali semata. Di seluruh nusantara, tempat dimana rakyat memijak bumi lahirnya  dipastikan terjadi "penghancuran" sumber-sumber air –hutan-hutan sebagai paru-paru bumi dihabisi. Di Bali misalnya, sengketa-sengketa air pada tiga dasa warsa terakhir mewarnai subak-subak. Secara benderang terjadi rebuatan air antara petani dan perusahaan air minum. Petani-petani itu menjadi korban kapitalisasi air, padaakhirnya.

Sangat nyata  memang, sengketa model ini  semakin riuh terjadi di seluruh dunia. Sehingga  pada tahun 1995 misalnya, Ismail Serageldin, mantan wakil presiden Bank Dunia, mencatat semacam prediksi perihal perang masa depan. "Jika perang-perang abad ini banyak dipicu sengketa minyak, perang masa depan akan dipicu oleh air."

Inilah yang menjadi kekhawatiran Ketut Putrayasa, sebagai putra kelahiran Desa Canggu, Kuta Utara, ia melihat, menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana sawah-sawah habis, organisasi pengairan yang disebut subak tumbang tak berdaya menghadapi gempuran industri pariwisata.

Hutan-hutan benton, bangunan-bangunan vila dan hotel memenuhi sawah –tempat di mana dulu rakyat menggantungkan harapan hidupnya  dan mengantungkan diri dari peradaban air. Kini payau, sungai-sungai, parit-parit kecil mengalami kekeringan. Tinggal  gedung beton dengan turis setengah telanjang berjemur di panta, sementara dengan membeli tanah petani untuk pembangunan kawasan wisata, petani itu tengah dimiskinkan secara paksa.

Mereka memang sempat bereuforia, akan tetapi, saat duit-duit mereka habis, karena mereka tak terampil berbinis, mereka pun jadi budak di tanah sendiri. Sawah-sawah hilang tersulap menjadi  hutan beton, air tanah makin menurun, pencemaran limbah hotel tak terhindari, maka air pun jadi objek kapitalisasi.

Apa yang diramalkan Wandhana Shiwa, lewat bukunya Water Wars (2002) semoga tidak terjadi. Berharap penghuni bumi cepat disadarkan, betapa pentingnya air bagi kehidupan bersama. Karena menurut Wandhana Shiwa yang seorang akademisi, aktivis perempuan yang getol melakukan pembelaan pada kerusakan lingkungan, bahwa perang air adalah perang global, dengan beragam kebudayaan dan ekosistem, yang memiliki etika universal tentang air sebagai sebuah kebutuhan ekologis, bersatu melawan budaya privatisasi ala korporasi, ketamakan, dan penutupan sumber-sumber air umum.

Ia menyebut, "..pada salah satu sisi dari persaingan ekologis ini dan dalam perang paradigma ini hidup jutaan spesies dan miliaran manusia yang mencari air untuk kebutuhan hidup. Sedangkan di sisi lain terdapat kekuasaan korporasi global.."

Kesadaran akan lingkungan, dan tradisi-tradisi pemuliaan air di nusantara memang tengah terancam. Maka kesadaran-kesadaran itu perlu dibangkitkan. Ini amat penting untuk melawan korporasi global saat mana air, sebagai sumber hidup milik bersama, dikuasai, dikapitalisasi untuk kepentingan ekonomi semata, dan untuk kemakmuran segelintir orang. 

Persoalan ini bagi Ketut Putrayasa berpunggungan dengan pasal 33.3 Undang-Undang Dasar 1945.  Belum lagi  kelangkaan air disebabkan "proyek pengeringan air"  atas nama agenda pembangunan dan penguatan ekonomi, yang secara masif, sistematis terus terjadi.

Dan karenanya, sebagaimana diingatkan penulis Karen Armstrong, penulis buku Sacred Nature, "kita harus menghidupkan kembali rasa hormat kepada alam yang selalu penting bagi watak manusia namun telah terpinggirkan selama ini."

Sampai di sini, pernyataan Masaru Emoto, seorang dokter yang telah bertahun-tahun meneliti, membuka tabir rahasia air: dari mana sesungguhnya sumber masalah hidup kita? Kenapa ada berita-berita buruk tentang penderitaan, orang-orang yang menikmati penderitaan, orang-orang yang semakin kaya, orang-orang yang semakin miskin, penindas dan orang yang tertindas.

Dari semua masalah yang dialami manusia dan lingkungannya, Masaru Emoto cukup hanya menjawab semua dimulai dari air. Menurutnya, 70% tubuh manusia terdiri dari air. Kita memulai hidup  sebagai janin dengan 99% air. Ketika lahir 90% air, dan saat  dewasa 70% air.  "Jadi bagaimana orang menjalani hidup yang bahagia dan sehat? Jawabnya adalah memurnikan air yang membentuk 70% dari diri kita," tulis Masaru.

Ditegaskan Masaru, air di sungai tetap murni karena bergerak. Bila terperangkap, air akan mati. Karena itu air harus selalu  mengalir.  Demikianlah bila air atau darah di dalam tumbuh  kurang bergerak  manusia cendrung sakit. Emosi, pikiran yang kusut berdampak langsung pada kondisi tubuh. Cara memurnikan air di tubuh, selain senantiasa bergerak, jalani hidup secara utuh dan menyenangkan.

Airlah  yang menyebabkan  kehidupan  berlangsung  di bumi. Karenanya, peradaban-peradaban tua dunia menyebut air sebagai sumber kehidupan. Demikian juga pandangan-pandangan suku-suku tua di Nusantara, senantiasa memuliakan air sebagai sumber hidup utama.  Peradaban Barat, misalnya menyebut air fonsvitae, sumber hidup. Orang-orang Hindu di Timur memaknai air sebagai amerta— sesuatu yang tidak bisa mati.

Pengertian ini tak jauh sebagaimana orang Yunani memahami air sebagai abrosia, yakni yang membuat kehidupan ini kekal, tak tersentuh ajal.  Manusia Bali lalu  menyebut air  kekekalan itu sebagai tirta sanjiwani atau tirta kamandalu, air pemberi hidup. Air juga sebutan lain dari sang hidup itu sendiri, toya –dieja menjadi " ento ia", itulah dia.

Walau dengan nada sumbang, "Proyek Mengeringkan Air", instalasi retoris yang disajikan Ketut Putrayasa sesungguhnya instalasi  amat heroik; ia berteriak tentang masa depan bumi, betapa kerakusan manusia telah membunuh  hidup secara perlahan—air kemasan yang terjual itu sesungguhnya air yang telah mati.

Maka pesan pendek dari "Proyek Mengeringkan Air" itu, bila ingin air bersih dan murni tanamlah pohon, hijaukan tanah-tanah gundul. Bila  perlu makanan  sehat, tanamlah pohon yang bisa memberi nutrisi murni. Bila ingin lingkungan sejuk, udara bersih –tanamlah pohon.

Hanya itu jawaban bagi bumi, sekaligus jawaban bagi hidup. Tapi hari ini, orang-orang merasa lebih seksi menanam beton tinimbang menanam pohon. Itulah arti lima pilar beton yang dihadirkan Ketut Putrayasa, tentang kabar kematian air hidup—di mana kita lebih memilih yang materi ketimbang yang hidup. ***

 (Penulis adalah pekerja kebudayaan asal Klungkung, menetap di Denpasar-Bali)