Sejarah Awal Mula Adanya Pura Luhur Giri Salaka di Alas Purwo
GemaBali (Denpasar)- Pura Luhur Giri Salaka berada di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini merupakan tempat ibadah umat Hindu yang terkenal mesterius dan sangat sakral. Pasalnya, pura ini terletak di dalam Taman Nasional Alas Purwo yang terkenal sebagai hutan yang angker.
Selain itu, di kawasan Pura Luhur Giri Salaka ini terdapat situs Kawitan yaitu berupa tumpukan batu bata besar. Masyarakat percaya kalau tumpukan batu bata tersebut adalah bahan material yang digunakan untuk pembuatan candi-candi di Jawa pada masa kerajaan Kediri sampai masa kerajaan Majapahit.
Baca Juga:
Penasaran bagaimana sejarah awal mula adanya pura di Alas Purwo yang terkenal angker itu? Berikut ini penjelasnnya.
Dikutip dari kanal Youtube @HinduChannel, Joko Setiyoso sebagai Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Kecamatan Tegaldlimo sekaligus sebagai Pendesa adat Pura Luhur Giri Salaka menceritakan tentang sejarah berdirinya Pura Luhur Giri Salaka yang dimulai dari situs Kawitan.
“Perlu diketahui bahwa situs Kawitan ini digunakan sejak tahun 1966 setelah kistapo karena dari reboisasi tempat ini semula tidak seperti ini, tempat ini dulunya hanya gundukan tanah,” katanya.
Kemudian, Joko menjelaskan gundukan tanah itu tadi ditemukan oleh masyarakat setempat lalu digali ternyata didalam gundukan tanah tersebut ditemukan batu bata yang tertumpuk.
“batu batanya tidak lazimnya seperti batu bata sekarang tapi sebagai batu bata yang mirip dengan apa itu batu bata yang digunakan oleh para leluhur kita dulu untuk membuat Candi,” ujarnya.
Selanjutnya, Joko mengatakan batu-batu yang ditemukan tersebut dibawa pulang oleh masyarakat dan digunakan untuk membuat tungku. Disanalah awal mula kejanggalan terjadi.
“masyarakat yang bawa pulang itu sakit, setelah sakit dibawa ke dokter di bawah secara medis tidak sembuh ternyata ditanyakan apa sebenarnya penyebabnya, kok bisa sakit seperti ini coba diingat-ingat gitu yang sakit kemudian ingat kalau membawa batu bata dari situs Kawitan,” kata Joko.
Kemudian, batu-batu tersebut dikembalikan dan membuat sarana upacara “Ngaturang Guru Piduka” kalo dalam bahasa Bali. Jadi, saat itu masyarakat membuat sarana selamatan minta maaf pada tempat itu karena telah membawa pulang dan mengganggu tempat tersebut.
Joko melanjutkan, setelah melakukan upacara tersebut ternyata mereka yang membawa batu bata itu sembuh. Hal ini memang bukan sesuatu yang bisa dilogikakan, tapi kenyataannya memang terjadi.
Nah, setelah tempat itu ditemukan, Joko mengatakan, umat Hindu sekitar Alas Purwo menggunakannya sebagai tempat persembahyangan purnama dan tilem. Tak hanya itu, masyarakat Kejawen juga menggunakan tempat itu pada malam Jumat Legi dan Seloso Kliwon dan itu masih berlangsung hingga sekarang.
Kemudian, Joko juga mengatakan pada masa itu umat Hindu di Tegaldlimo hanya berjumalah 400 orang, mereka tinggal di desa kedunggebang, dusun Krajan dengan satu pura yaitu pura Swadarma.
“saat itu situasi belum begitu aman dan nyaman, orang beragama Hindu saat itu semakin lama meledak semakin besar sampai hari ini jumlah umat Hindu di wilayah kecamatan Tegaldlimo sudah 1400 KK kurang lebihnya 6000 jiwa Karena kita terdiri dari sembilan desa,” ungkapnya.
Setelah itu, Joko menjelaskan bahwa masyarakat yang mulai berkembang pada masa itu ingin memusatkan satu kegiatan di satu tempat.
“jadi ingin kegiatan itu disentralkan di satu tempat akhirnya ada musyawarah mufakat bahwa kegiatan itu kita centralkan di Situs Kawitan untuk hari Raya Pagerwesi,” katanya.
Setelah dia lakukan kegiatan itu upacara pujawalinya pas hari raya Pagerwesi, awalnya upacara tersebut hanya diikuti oleh satu Kecamatan, ternyata semakin lama semakin banyak yang datang bahkan dari Kecamatan lain juga ikut.
Karena hal itu, Parisada kecamatanpun melakukan rapat bersama para sesepuh untuk membuat pura di tempat tersebut. Namun, setelah rapat ternyata tempat tersebut tidak dapat dibangun pura karena termasuk bangunan purbakal.
Sebagai informasi, jika suatu tempat telah dianggap sebagai peninggalan purba olah Dinas Kepurbakalaan maka tempat tersebut tidak boleh digunakan untuk kegiatan besar.
“karena tidak boleh ada kegiatan di sana maka umat membuat tempat yang baru, kita juga tidak mau seperti itu terjadi pada kita. Akhirnya kita usul pada tahun 1993 usulan kita ditanggapi tahun 1996-1997 usulan kita itu apa namanya diterima tetapi syarat yang harus dipenuhi,” jelasnya.
Meski demikian, pada akhirnya Pura yang diberi nama Luhur Giri Salaka dapat dibangun dan terus kokoh terpelihara hingga sekarang.
“kita namakan Giri Salahka itu juga ada sejarahnya, ada gunung Purwo Salahkah perak, perak itu Timur artinya ini hutan yang paling timur jadi walaupun di wilayah Selatan, paling timur itu kan Purwa adalah konsep kita,” terang Joko.
Joko mengatakan, upacara besar mulai dilakukan di Pura Luhur Giri Salaka pada tahun 1985 hingga sekarang. Upacara besar di Pura Luhur Giri Salaka tidak hanya diikuti olah masyarakat sekitar, melainkan juga diikuti olah umat Hindu di seluruh nusantara. Mulai dari Bali, Sumatra, Kalimantan bahkan ada juga dari Irian Jaya juga berkunjung ke Pura Luhur Giri Salaka.
Terkait dengan Pujawali, Pura Luhur Giri Salaka disamakan dengan di Situs Kawitan. Apapun uapacara yang dilakukan di Situs kawitan akan dilakukan juga di Pura Luhur Giri Salaka begitupun sebaliknya, hal tersebut terus berlangsung hingga saat ini.
“kita lakukan upacara juga sama dengan di sana, sini pujawali ngaturang piuning setelah itu kita lakukan di sana. Kemudian pada waktu bulan suro, suro itu tradisinya orang Jawa karena yang bersembahyang di tempat ini, yang bermeditasi di tempat ini tidak hanya orang Hindu, tetapi kalau masyarakat Hindu juga tetap melestarikan kearifan lokal kita juga lakukan ritual seperti itu”, ujar Joko. (ra)