Telemedis: Sebuah Jawaban di Masa Pandemi

foto profil krisna aji
foto profil krisna aji

Di masa pandemi ini, akses yang aman akan kesehatan muncul sebagai hal yang diperhitungkan. Pergeseran kebiasaan mulai terjadi. Sebelum pandemi, masyarakat akan langsung ke pusat kesehatan jika sedikit saja merasa tidak enak badan. Hal berkebalikan terjadi di masa pandemi di mana beberapa orang mulai berhitung untuk datang ke layanan kesehatan. Takut tertular, tentu saja. Tidak hanya pasien yang memiliki ketakutan akan hal tersebut. Petugas kesehatan–apalagi yang berusia tua dan memiliki penyakit fisik serius–pun demikian . Kondisi tersebut memerlukan adanya terobosan baru untuk beradaptasi: telemedis.

Telemedis merupakan pelayanan kesehatan yang memungkinkan pasien dan dokter melakukan hubungan terapeutik dua arah dan melakukan komunikasi interaktif secara real time jarak jauh. Cara ini merupakan hal yang cukup relevan karena dapat memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Telemedis–yang sebenarnya sudah mulai diterapkan sebelum pandemi terjadi–semakin meningkat penggunaannya saat pandemi berjalan.

Cara ini tidak serta merta dapat digunakan pada semua bidang kedokteran secara utuh. Terlebih lagi pada spesialisasi yang membutuhkan pemeriksaan fisik langsung oleh dokter kepada pasiennya. Oleh karena itu, terdapat tingkat penggunaan yang berbeda pada berbagai spesialisasi. Seperti dilansir dari survei yang dipublikasikan oleh American Medical Assosiation pada tahun 2019, spesialisasi yang paling banyak melakukan telemedis di Amerika adalah radiologi (39,5%) dan diikuti oleh psikiatri (27,8%).

Dengan regulasi terbaru mengenai telemedis (PERMENKES nomor 20 tahun 2019), psikiatri dapat melakukan hal ini secara legal di Indonesia. Dalam ranah praktis, cara ini merupakan celah baru di bidang psikiatri untuk melakukan terapi karena pendekatan kondisi psikis terhadap pasien lebih banyak dilakukan dengan wawancara psikiatri yang mendalam. Walaupun demikian, terdapat beberapa kekurangan yang ada pada cara baru ini. Tampilan yang tampak pada dua individu yang berkomunikasi seringkali hanya terbatas pada area sekitar wajah. Gestur dari keseluruhan tubuh–yang merupakan variabel nonverbal–seringkali tidak dapat terlihat.

Masalah akan bertambah saat media komunikasi–salah satunya jaringan internet–mengalami masalah. Kondisi yang seharusnya real time menjadi kabur karena tampilan video ataupun suara yang melambat. Analisis non-verbal akan bermasalah pada kondisi tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada pasien di mana terkadang kondisi tersebut akan memperparah ketidakstabilan emosi yang dialami. Terlebih lagi, sensasi “pertemuan dua manusia” yang sangat terasa pada pertemuan di ruang praktik akan berkurang dengan cara baru ini.

Terlepas dari segala kekurangannya, terdapat beberapa kelebihan yang sangat membantu. Penjadwalan yang awalnya harus mencocokan tempat dan waktu akhirnya hanya perlu mencocokan waktu yang sama saja. Masalah tempat? Bisa di mana saja. Selain itu, penggunaan masker–yang wajib digunakan jika melakukan konsultasi langsung di tempat praktik–tidak diperlukan lagi. Keseluruhan wajah–yang merupakan ekspresi non-verbal paling penting–yang jelas terlihat saat tidak menggunakan masker akan sangat membantu proses dari terapi itu sendiri.

Beradaptasi tentu saja tidak instan dan membutuhkan waktu untuk terbiasa. Mungkin saja, segala kekurangan yang ada pada telemedis dapat disempurnakan di masa mendatang. Atau, manusialah yang pada akhirnya beradaptasi dan lebih fleksibel terhadap segala kekurangan yang ada pada cara ini. Saat sudah terbiasa dengan cara ini, maka gaya hidup “normal” yang baru seketika akan terbentuk dengan sendirinya.