Badai Pasti Berlalu: Sebuah Pemikiran Kritis
“Badai pasti berlalu,” kata beberapa orang di lini masa. “Semoga kita juga tidak ikut berlalu,” kata beberapa orang dengan tanggapan pesimis.
Baca Juga:
Percakapan tersebut adalah hal yang sering kali hadir di lini masa pada masa pandemi ini. Tidak ada yang kekal, tentu saja. Ombak besar akan terganti dengan ketenangan permukaan laut. Begitu pula sebaliknya. Ketenangan suatu saat akan tergantikan oleh naik turunnya gelombang, bahkan tsunami.
“Badai pasti berlalu” memang merupakan kalimat penyemangat bagi orang-orang yang lingkungannya terkena musibah, salah satunya: pandemi. Musibah adalah entitas yang tidak kekal. Ia akan datang dan pergi begitu saja. “Yang kekal adalah perubahan”, kata para penyemangat. Tetapi, dari sudut pandang pemikiran kritis, kalimat tersebut hanya berlaku jika badai yang lewat pada akhirnya tidak ikut menyapu orang-orang yang disemangati. Bagaimana jika pada akhirnya “kita juga ikut berlalu bersama badai”?
Konsep ketidakkekalan tersebut sejatinya sudah ditanamkan dan dimengerti oleh manusia sejak kecil. Orang tua, bisa jadi sudah mencontohkan dengan bukti kecil bahwa segala hal yang pernah lahir, suatu saat akan mati dan hilang. Kelekatan terhadap segala sesuatu yang tidak kekal hanya akan membawa kesengsaraan. Cara berpikir tersebut dimengerti dan dimaklumi oleh manusia sejak kecil, tentu saja.
Tapi pemahaman yang berlanjut pada keiklasan akan hal tersebut hanya berlaku jika objek yang berubah tidak berhubungan dengan dirinya sendiri. Seseorang pada akhirnya akan menderita jika berbenturan pada kenyataan bahwa ketidakkekalan juga berlaku pada segala hal yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Sebatas pernyataan kepada orang lain tapi tidak bagi diri sendiri.
Berhubungan dengan hal tersebut, Banthe Uttamo Mahathera pernah berkata pada sebuah wawancara:
“Saat ada seorang teman yang kehilangan uang, kita mudah saja mengatakan bahwa ‘tidak ada yang kekal’. Tapi, saat giliran kita kehilangan uang dan teman mengatakan hal yang sama kepada kita, serta merta banyak alasan akan muncul:’uangku yang hilang lebih besar dari uangmu’, ‘posisiku berbeda dengan dirimu’, ‘kita tidak bisa disamakan’”
Tidak ada yang kekal. Itulah realita yang valid dan tidak dapat disanggah. Manusia tidak mampu mengubah realita dan hanya mampu mengubah persepsi terhadap realita tersebut. Seperti yang dikatakan Zeus kepada Epitectus pada Epictetus, The Discourses and Manual, Together With Fragments of His Writing yang ditulis ulang oleh Matheson di tahun 2018:
“[…] Walaupun demikian, Aku memberimu sebagian dari ke Ilahian ku, yaitu kemampuan untuk bertindak atau tidak bertindak, keinginan untuk mendapatkan atau menghindar, di mana kedua paradoks tersebut dapat digunakan untuk mengubah kesan terhadap sesuatu. Jika kamu menggunakan kemampuan ini dan menyimpan keegoisanmu, kamu tidak akan pernah menderita walau rintangan datang. Kamu tidak akan menyalahkan atau menyanjung siapapun akibat realita yang ada. Apakah hal ini masih kurang?”
Kembali lagi, semua berawal dari diri sendiri. Usaha untuk mengubah kemungkinan dari masa depan yang akan terjadi sangat perlu untuk dilakukan. Walaupun demikian, penerimaan terhadap apapun yang hadir sebagai realita, tidak kalah penting dibandingkan usaha mengubah kemungkinan itu sendiri. Pada akhirnya, manusia hanyalah entitas yang memiliki keterbatasan mengubah realita, tetapi memiliki kontrol penuh terhadap persepsi dirinya terhadap kenyataan. Dimulai dari diri sendiri. Bukan dimulai dari kata-kata kepada orang lain.