Psikodinamika dalam Hubungan Berpasangan
Telah banyak diketahui bahwa masa lalu seseorang memengaruhi sikap dan perilaku di masa kini. Terminologi yang sering dipakai untuk menjelaskan kondisi tersebut adalah psikodinamika.
Salah satu bentuk dari psikodinamika adalah hubungan yang baik maupun yang bermasalah terhadap figur di masa lalu–secara sadar ataupun nirsadar–dan akan sangat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap orang lain di masa kini walaupun orang di masa kini tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan masa lalu.
Sebagai contoh, seorang wanita akan menggunakan sudut pandang yang sama dengan apa yang dilihat pada figur ayahnya dalam memilih pasangannya di masa kini. Jika dilogikakan, wanita yang saat kecil selalu ditinggal oleh ayahnya yang suka selingkuh akan menghindari laki-laki yang suka selingkuh untuk dijadikan pasangan di masa kini.
Walaupun demikian, hal sebaliknya seringkali tampak. Wanita dengan kasus yang serupa–secara nirsadar–akan mendambakan figur ayah di masa lalu, baik dari sisi positif ataupun negatif. Dengan kata lain, figur laki-laki yang lebih tua, “matang”, dan–parahnya–suka selingkuh menjadi dambaan.
Beberapa kasus juga menunjukan bahwa wanita yang memiliki ayah yang suka selingkuh lebih tertarik kepada pria yang sudah berkeluarga untuk dijadikan pasangannya. Contoh lain: seorang pria yang sejak kecil melihat pertengkaran orang tuanya pada akhirnya menjadi tidak percaya kepada sebuah komitmen dan tidak memiliki keberanian untuk menikah.
Baca Juga:
Kondisi tersebut bukanlah hal absolut dan mutlak akan terjadi pada keseluruhan populasi. Tidak ada teori yang dapat menyamaratakan manusia dengan segala keunikannya yang subjektif.
Kasus yang lebih ringan dan sering terjadi adalah konflik dalam pasangan. Beranjak dari pemilihan pasangan yang secara koinsiden “mirip” dengan figur orang tua, cara berelasi dan berkomunikasi pun–secara tidak disadari–akan mirip dengan gaya relasional yang dilakukan dengan orang tua.
Misalkan saja, seorang wanita yang memiliki amarah kepada ayah yang selalu memaksakan kehendak dan tidak bisa berkomunikasi akan sering marah kepada pasangannya saat pasangan tersebut melakukan keputusan yang tidak melalui proses diskusi. Walaupun secara sadar tindakan pasangan tersebut adalah hal wajar dan memang harus dilakukan karena keterbatasan waktu untuk berdiskusi.
Masalah yang belum selesai di masa lalu pada akhirnya akan mencari objek pelampiasan di masa kini. Saat pasangannya secara sekilas membawa kesan masa lalu, maka wanita tersebut akan langsung menganggap bahwa orang di depannya adalah ayahnya yang dulu pernah bermasalah dengannya.
Saat kondisi tersebut terjadi, secara tidak sadar wanita itu akan melakukan reaksi negatif–seperti marah–kepada pasangannya sehingga membuat pasangannya bereaksi lebih dan makin menyerupai figur ayah yang tidak disukai.
Siklus timbal balik yang tidak berkesudahan akhirnya terjadi saat pasangan tersebut bereaksi secara negatif. Pada contoh kasus sehari-hari ini, terjadi mekanisme pembelaan ego identifikasi proyeksi.
Kembali lagi, kondisi-kondisi tersebut tidak mutlak ataupun pasti terjadi pada semua orang. Hal-hal tersebut hanya contoh dari beberapa kasus di mana masa lalu sangatlah berperan terhadap hubungan berpasangan di masa kini.
Hal yang harus dilakukan untuk mengatasi kondisi tersebut adalah menyadari diri dan elemen masa lalu sebagai pembentuk diri yang dominan. Pasangan juga perlu memahami dan tumbuh bersama untuk sama-sama berjalan dari masa kini ke masa depan. (*)