Media Perkembangan Psikososial Generasi Z

foto profil krisna aji
foto profil krisna aji

Generasi remaja di tahun 2021–sering disebut dengan generasi Z–adalah anak yang lahir di tahun 1995-2010. Generasi ini sudah lekat dengan media sosial berbasis internet bahkan saat pandemi belum terjadi–dan semakin parah saat pandemi melanda. Kedekatan remaja di generasi ini terhadap media sosial tentu saja membuat perbedaan yang besar dengan beberapa generasi sebelumnya, terutama pada perkembangan psikososial.

Perkembangan psikososial adalah perkembangan psikis yang dipengaruhi oleh hubungan manusia terhadap benturan- benturan dengan lingkungan di sekitarnya. Karena dalam perjalanan hidupnya, manusia akan bertemu manusia lainnya dan relasi tersebut akan memengaruhi pertumbuhan psikis dari manusia itu sendiri. Seiring bertambahnya usia, lingkungan sosial berkembang dari lingkaran yang paling kecil–orang tua–kemudian membesar ke anak seumuran, lingkungan sekolah, dan lingkungan lain dengan variasi karakter sosial yang lebih beragam.

Fase remaja menjadi menarik karena di tahap ini, muncul kehendak untuk menemukan jati diri makin kuat: terlihat dengan pencarian posisi yang “unggul” dari anak-anak seusianya yang makin kasat mata. Keunggulan tersebut tidak memiliki batas yang jelas karena remaja sendiri belum paham mengenai definisi baku dari “unggul”. Oleh karena itu, definisi dari “unggul” yang banyak dipakai oleh remaja–pada tahap ini–adalah adanya “pengakuan” dari lingkungannya. “Pengakuan” tersebut tentu saja lekat dengan kesepakatan umum yang secara tak tertulis di lingkungannya.

Pencarian jati diri dari pengakuan orang lain membuat remaja banyak menghabiskan tenaga untuk memuaskan pandangan umum: sebisa mungkin tampak keren; memperlihatkan–walaupun kenyataannya berkebalikan–gaya hidup yang asyik; mencari prestasi di bidang-bidang yang diakui oleh anak sebaya. Saat generasi sebelumnya memuaskan orang lain dengan tampilan langsung tanpa perantara, remaja di era ini menggunakan media sosial berbasis internet untuk saling “mengintip” satu sama lain. Kondisi tersebut mempermudah remaja era ini untuk menunjukkan apa yang ingin dilihat dan menyembunyikan apa yang tabu: menggunakan topeng sepanjang waktu agar dapat berelasi dengan orang lain.

Lebih jauh lagi, tampilan media sosial pada akhirnya hanya pertunjukansemu dari penokohan yang ingin ditunjukan oleh remaja. Jati diri remaja akan tersembunyi–atau, nyaman dengan posisi yang disembunyikan–oleh topeng yang dikenakan. Di titik ini, tanggapan lingkungan di media sosial tentu saja akan sangat baik dan penuh pujian. Tetapi, bagaimana tanggapan diri sendiri terhadap topeng yang digunakan? Sejujurnya, apakah diri sendiri nyaman dengan wajah palsu tersebut?    

Lingkungan–diakui atau tidak–sebenarnya sedang memuja topeng yang dikenakan dan bukan kagum terhadap jati diri yang sebenarnya. Topeng yang merupakan salah satu bentuk dari sebuah kebohongan hanya akan tampak otentik jika terus dilanjutkan dengan kebohongan selanjutnya. Ketakutan untuk tidak diperhatikan lagi akan membuat topeng lama selalu dimodifikasi agar sesuai dengan selera pasar.

Pada akhirnya, jati diri akan semakin ditentukan oleh tanggapan orang lain dan hanya bermakna jika mendapat apresiasi positif dari lingkungan. Jati diri–pada akhirnya–bukan ditentukan oleh diri sendiri dan–dalam perjalananya–hak atas jati diri berpindah menjadi milik orang lain.

Oleh karena itu, apakah “jati diri” yang pada akhirnya menjadi hak orang lain benar-benar merupakan jati diri?