Teratai: Antara Idealisme dan Realitas
Idealisme sering kali berada pada sisi yang bersebarangan dengan realitas yang ada. Idealisme–jika dipandang sebagai salah satu bentuk Id dalam konsep psikologis–adalah kepentingan seseorang untuk memuaskan dirinya sendiri tanpa peduli dengan realita yang terjadi. Di sisi lain, realita pada dasarnya bergulir apa adanya; kenyataan tidak bisa dituntut agar sesuai dengan keinginan; realita justru yang menuntut manusia untuk menyesuaikan diri dan bukan sebaliknya.
Dari cara pandang ini, realita mirip dengan konsep Superego yang membatasi Id dalam mencari pemuasan diri. Dua hal yang bertolak belakang–baik Superego dengan Id maupun realita dengan idealisme–pada akhirnya berbenturan di satu titik dan menyebabkan masalah. Masalah pada akhirnya menuntut individu untuk memilih: menyesuaikan diri dengan realita dengan konsekuensi meninggalkan kemewahan idealisme agar dapat hidup di dunia nyata dengan nyaman atau mengikuti idealisme dengan konsekuensi kehidupan nyata yang penuh perjuangan dengan imbalan kemewahan yang utopis tetapi semu.
Kebanyakan orang akan memilih satu dari dua pilihan umum tersebut. Pilihan yang tampak sepertinya memang hitam-putih dan absolut. “Tidak ada jalan tengah,” kata beberapa orang. Tetapi, benarkah tidak ada titik kompromi dari kedua kutub tersebut? Seperti benturan Id dan Superego yang menghasilkan pola adaptasi bernama Ego, bisa jadi tabrakan antara idealisme dan realita juga dapat menghasilkan titik tengah bernama “kompromi”: kolaborasi dan tidak memilih salah satu secara mutlak dengan mengorbankan sisi lainnya.
Baca Juga:
Penggambaran kompromi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teratai sebagai objek metafora.
Tumbuhan teratai hidup di rawa yang kotor tetapi dapat memunculkan bunga yang indah dan kontras dengan lingkungannya. Akar menyerap dan mengolah air kotor kemudian membuat pertumbuhan bunga menjadi sempurna. Di balik keindahannya, daun yang membuat tumbuhan teratai dapat mengapung di air yang kotor sering kali dilupakan. Daun–dari sudut pandang ini–adalah titik keseimbangan dari kompromi terhadap realita demi terealisasinya idealisme yang indah. Tanpa melupakan fungsi dari unsur hara yang terkandung di rawa, bunga teratai pada akhirnya dapat tumbuh ke atas dan tidak tersentuh oleh kotornya air yang mendukungnya untuk tetap hidup.
Hal berkebalikan dapat terjadi jika fokus hanya diberikan pada satu sisi saja. Jika fokus pada tumbuhnya bunga tanpa peduli dengan air kotor yang menyokong kehidupan: bunga akan layu sebelum berkembang. Hanya fokus terhadap air rawa yang kotor tanpa memanfaatkannya untuk menumbuhkan keindahaan bunga pun akan berakhir dengan masalah: tumbuhan teratai akan tetap hidup tetapi kehilangan ciri khas dari teratai yang seharusnya memiliki bunga yang indah.
Daun–sebagai titik awal keseimbangan–berfungsi untuk menghubungkan akar dan bunga agar tetap harmonis dalam membentuk tumbuhan teratai seutuhnya: tetap hidup tetapi tidak kehilangan jati diri sebagai tumbuhan teratai yang memiliki bunga indah yang menjulang ke atas. Pada akhirnya, realita bukan menjadi penghalang tetapi malah menjadi tenaga penggerak agar idealisme dapat terealisasikan dengan baik.