‘Mindfulness’ Tidak Hanya Perihal Masa Kini

foto profil krisna aji
foto profil krisna aji

Mindfulness beranjak dari logika akan sadar sepenuhnya terhadap masa kini. Kesadaran ini menyangkut stimulus yang terjadi dan respons diri–melibatkan tubuh, pikiran, dan perasaan–terhadap stimulus tersebut. Dalam konteks ini, logika mindfulness serupa dengan psikoterapi kognitif dan perilaku yang menyasar respons diri di saat ini terhadap stimulus yang ada.

Secara garis besar, cara yang dilakukan adalah dengan menanyai alasan logis dari respons diri tersebut–sering kali disebut dengan pertanyaan socratic: memikirkan alasan dari pikiran–yang menyebabkan perasaan dan respons tubuh bergerak–yang terjadi akibat stimulus yang muncul.

Jika psikoterapi kognitif dan perilaku–dengan pertanyaan socratic yang memikirkan alasan dari berpikir–berfungsi untuk melihat celah logika yang salah dalam memandang sesuatu di masa kini kemudian meluruskan pikiran salah tersebut, mindfulness bersikap lebih tenang dengan membiarkan segalanya mengalir apa adanya tanpa intervensi sama sekali: hanya mengamati dan menjaga jarak; menerima segalanya dengan kerelaan yang paripurna.

Dari sudut pandang ini, jelas sekali bahwa mindfulness bekerja di realita saat ini dan tidak ada urusannya sama sekali dengan masa lalu. Tapi, apakah benar demikian?

Paparan pada tulisan ini beranjak dari pemahaman yang menyebutkan bahwa masa kini tidak dapat berdiri sendiri: merupakan buah dari tanaman mental yang dipupuk dari masa lalu. Karena sifat-sifat dari kondisi mental masa kini tersebut, maka menelaah masa lalu sebagai salah satu penyebab utama dari tindakan di masa kini juga merupakan variabel yang tidak bisa dilepaskan.

Kondisi ini juga sudah dipahami pada penerapan psikoterapi kognitif dan perilaku dengan menjabarkan riwayat masa lalu pasien yang memiliki kecenderungan memengaruhi respons di masa kini. Walaupun, riwayat tersebut hanya berhenti sebagai data dan tidak terlalu diolah ataupun diintervensi–berbeda dengan psikoterapi rekonstruktif yang hanya fokus pada pondasi mental yang terbentuk di masa lalu.

Dari pemahaman tersebut, sejatinya, mindfulness dapat berlaku lebih fleksibel dan tidak melulu hanya berpatokan pada masa kini. Pendekatan mindfulness pada lapisan terluar yang seolah hanya mengukur respons di masa kini sejatinya dapat digunakan untuk mundur dan menelaah bangunan mental yang sudah terbentuk dari masa lalu. Telaah bangunan mental yang dipakai pada psikoterapi rekonstruktif–dengan memindai resistensi dan melihat kunci di balik resistensi tersebut–juga dapat dipakai pada mindfulness.

Mindfulness menjadi lebih sukar dalam memindai resistensi tersebut karena seseorang tidak dipandu oleh terapis dalam proses terapi–seseorang bertindak sebagai terapis bagi dirinya sendiri. Tetapi hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil jika seseorang sudah terlatih dalam melakukan mindfulness. “Terlatih” jelas berbanding lurus dengan latihan rutin dan tekad yang kuat; memerlukan pendampingan dari terapis untuk memahami konsep dari psikoterapi rekonstruktif yang disinergikan dengan mindfulness.

Pada akhirnya, seseorang yang telah berhasil melakukan sinergi antara konsep kekinian dengan psikoterapi rekonstruktif pada mindfulness akan dapat merasakan bahwa–jika menggunakan konsep ruang–untuk mengetahui titik berdiri saat ini, seseorang harus tahu titik di belakang dan di depannya–hal yang akan dilakukan ke depannya.

Setelah itu, barulah seseorang dapat paham benar mengenai kondisi kekinian yang sedang dialaminya: sebab di masa lalu; akibat di masa kini; kemungkinan akibat di masa depan yang terdampak dari tindakan yang akan dilakukan.