Jalan Pembebasan itu Bernama Pendidikan

foto profil krisna aji
foto profil krisna aji

 “Ronggeng Dukuh Paruk” karangan Ahmad Tohari menceritakan kesuraman di sebuah wilayah terasing dan jauh dari peradaban. Wilayah itu  didiami oleh masyarakat yang lugu dan bodoh; dicirikan dengan warga yang nyaman dengan kebodohan yang mengakar. Kebodohan tersebut pada akhirnya membawa Dukuh Paruk berada dalam sebuah bencana besar: dituduh terlibat dalam aksi pemberontakan PKI.

Padahal, tidak seorang pun warga yang paham akan politik, terlebih mengenai apa itu PKI. Keterlibatan yang seharusnya dapat dihindari jika mereka dapat membaca situasi di saat itu. Di luar konflik komunal yang disampaikan, konflik personal pada cerita ini tidak kalah hebat: Srintil yang dengan rela menjadi ronggeng dan melayani banyak laki-laki.

Kebanggaan yang sewajarnya didapat oleh seorang yang mampu mengangkat martabat Dukuh Paruk; kebanggaan yang mengubah manusia menjadi barang dagangan; kebanggaan yang tidak ada seorangpun mempertanyakan, kecuali Strintil dan Rasus.

Berbeda dengan Srintil yang tetap bertahan dan mengidap skizofrenia di akhir cerita, Rasus akhirnya meninggalkan kampung halamannya: merantau karena  merasa tidak cocok lagi dengan kebiasaan sosial yang berlaku di Dukuh Paruk. Dalam perantauannya, ia bertemu dengan banyak orang, mengenal dunia yang tidak sekecil Dukuh Paruk, dan akhirnya, menjadi tentara.  Walaupun tidak banyak yang dapat ia berikan kepada kampung halamannya, tokoh ini dirasa dapat menggambarkan kekuatan wawasan yang dapat membebaskan.

Rasus dapat digunakan sebagai pembanding terhadap kondisi Dukuh Paruk. Dengan kata lain, jika masyarakat Dukuh Paruk memiliki wawasan yang luas, semua masalah yang menimpa dukuh tersebut tidak perlu terjadi.

Hal yang sama mengenai kekuatan wawasan–yang merupakan hasil dari proses pendidikan–juga telah diketahui oleh para pendiri Bangsa Indonesia. Pendidikanlah yang pada akhirnya memberikan kesiapan pendiri bangsa untuk mengambil kesempatan memerdekakan Bangsa Indonesia saat Jepang kalah dari Sekutu.

Jika mundur jauh ke belakang, bahkan, pendidikan adalah awal dari pertanyaan kritis akan kemerdekaan seutuhnya bagi manusia dan bangsa: pemikiran melawan etika komunal yang ditanamkan bahwa berada dalam penjajahan adalah hal yang normal.

Salah satu pemikiran  oleh Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan pernah dimuat di majalah Keluarga pada tahun 1936 yang berjudul “Dasar – Dasar Pendidikan”. Tujuan pendidikan–yang ditulis dalam artikel tersebut–adalah “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi – tingginya”. Pernyataan ini dapat dicapai karena pendidikan dapat membawa manusia untuk berpikir kritis terhadap apa yang terjadi pada diri dan lingkungannya.

Misalkan saja, masyarakat Dukuh Paruk sebenarnya tidak perlu menderita jika mereka mampu untuk kritis terhadap etika komunal yang berlaku dan berani mempertanyakan hal yang terjadi di lingkungan sekitar.

Dalam hal ini, etika komunal adalah kesepakatan bersama yang memiliki tujuan awal untuk memberikan kebaikan pada semua warga yang tunduk pada aturan tersebut. Walaupun demikian, masyarakat sering melupakan konsep dasar yang menyebutkan bahwa kesepakatan tersebut bermula dari hak dan kepentingan individu–yang berbeda–yang harus dihargai.

Pergeseran dari pemahaman secara radikal terhadap makna dasar menjadi sekedar “ikut-ikutan” pada akhirnya akan membuat manusia seperti katak yang berada dalam air yang mendidih secara perlahan: tidak sadar dengan maut di depan mata. Semua masalah itu–kembali lagi–dapat diatasi oleh pendidikan.